Date: 07/03/2025
Caption: Subjek Politik dalam Isu Pemecatan Vokalis Sukatani
Article:
Oleh Angga Trio Sanjaya, Dosen Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan

FENOMENA pemecatan vokalis Sukatani, Novi Citra Indriyati, dari pekerjaannya sebagai guru SD IT Mutiara Hati di Banjarnegara menjadi peristiwa yang memancing refleksi mendalam.

Jika ditarik dalam ruang relasional antara tatanan sosial dominan dan subyektivasi politik, pemecatan tersebut seolah memosisikan Novi sebagai sosok yang mengalami partisi.

Ini karena identitasnya sebagai bagian band beraliran punk dianggap tidak etis.


Berdasarkan catatan salah satu media daring, alasan pemecatan dilakukan tanpa memberikan kesempatan untuk menyampaikan keterangan.

Jika ditilik, dalam Surat Keputusan Pemecatan tersebut, menurut Novi tidak dijelaskan mengenai keikutsertaannya dalam band punk merupakan pelanggaran berat.





Kondisi demikian seolah menjadikan Novi dieksklusi dan dicap layaknya ‘the wrong’.

Dalam perspektif Jacques Rancière, seorang pemikir dari Prancis kelahiran Aljazair, ‘the wrong’ atau demos diidentifikasi sebagai orang-orang yang dalam tatanan sosial.

Dianggap tidak memiliki bagian, tidak diperhitungkan.

Dalam konteks tersebut, identitas diri Novi sebagai vokalis band punk dianggap tidak memiliki kualifikasi yang cukup untuk dimasukan sebagai seorang pendidik.

Dengan demikian, peristiwa yang dijabarkan telah memasuki ruang politik subjektivitas yang diametral terhadap tatanan sosial politik dominan (police).

Dengan suara dan perlawanan yang dilakukan Novi untuk mempertanyakan keputusan tersebut, menunjukkan bahwa subjek demos yang sempat tidak dihitung dalam distribusi kekuasaan telah muncul dan menjadi penggerak disensus.

Suatu upaya untuk menggugat kesetaraan geometris, yaitu kontruksi police yang memahami bahwa setiap tatanan sosial terbagi-bagi dan hirarkis.

Dampaknya, secara alamiah masing-masing orang dianggap memang tidak setara sehingga adil jika pembagian yang diperoleh juga tidak setara.

Beranjak dari realitas tersebut, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah, apakah pemecatan ini merupakan upaya untuk menjaga ketertiban (police order)?


Keywords: indeks ekspresi dbksuaramerdeka opini subjek politik dalam
Article Link: https://www.suaramerdeka.com/opini/0414701636/subjek-politik-dalam-isu-pemecatan-vokalis-sukatani

-------------ORIGINAL HTML:------------------
Subjek Politik dalam Isu Pemecatan Vokalis Sukatani - Suara Merdeka

Subjek Politik dalam Isu Pemecatan Vokalis Sukatani

- Jumat, 7 Maret 2025 | 06:15 WIB
Angga Trio Sanjaya. (suaramerdeka.com / dok)
Angga Trio Sanjaya. (suaramerdeka.com / dok)

Oleh Angga Trio Sanjaya, Dosen Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan

FENOMENA pemecatan vokalis Sukatani, Novi Citra Indriyati, dari pekerjaannya sebagai guru SD IT Mutiara Hati di Banjarnegara menjadi peristiwa yang memancing refleksi mendalam.

Jika ditarik dalam ruang relasional antara tatanan sosial dominan dan subyektivasi politik, pemecatan tersebut seolah memosisikan Novi sebagai sosok yang mengalami partisi.

Ini karena identitasnya sebagai bagian band beraliran punk dianggap tidak etis.

Berdasarkan catatan salah satu media daring, alasan pemecatan dilakukan tanpa memberikan kesempatan untuk menyampaikan keterangan.

Jika ditilik, dalam Surat Keputusan Pemecatan tersebut, menurut Novi tidak dijelaskan mengenai keikutsertaannya dalam band punk merupakan pelanggaran berat.

Kondisi demikian seolah menjadikan Novi dieksklusi dan dicap layaknya ‘the wrong’.

Dalam perspektif Jacques Rancière, seorang pemikir dari Prancis kelahiran Aljazair, ‘the wrong’ atau demos diidentifikasi sebagai orang-orang yang dalam tatanan sosial.

Dianggap tidak memiliki bagian, tidak diperhitungkan.

Dalam konteks tersebut, identitas diri Novi sebagai vokalis band punk dianggap tidak memiliki kualifikasi yang cukup untuk dimasukan sebagai seorang pendidik.

Dengan demikian, peristiwa yang dijabarkan telah memasuki ruang politik subjektivitas yang diametral terhadap tatanan sosial politik dominan (police).

Dengan suara dan perlawanan yang dilakukan Novi untuk mempertanyakan keputusan tersebut, menunjukkan bahwa subjek demos yang sempat tidak dihitung dalam distribusi kekuasaan telah muncul dan menjadi penggerak disensus.

Suatu upaya untuk menggugat kesetaraan geometris, yaitu kontruksi police yang memahami bahwa setiap tatanan sosial terbagi-bagi dan hirarkis.

Dampaknya, secara alamiah masing-masing orang dianggap memang tidak setara sehingga adil jika pembagian yang diperoleh juga tidak setara.

Beranjak dari realitas tersebut, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah, apakah pemecatan ini merupakan upaya untuk menjaga ketertiban (police order)?

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Andika Primasiwi

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Kontradiksi Kebijakan Kemendes

Jumat, 7 Maret 2025 | 05:27 WIB

Kepemimpinan Berbasis Pancasila

Kamis, 6 Maret 2025 | 06:15 WIB

Rabu Abu Sebagai Penanda Pertobatan

Rabu, 5 Maret 2025 | 06:15 WIB

Mudik Lebaran di Tengah Efisiensi Anggaran

Senin, 3 Maret 2025 | 06:15 WIB

Trilogi Kepemimpinan Menuju Indonesia Emas 2045

Jumat, 28 Februari 2025 | 07:35 WIB

Retret Media Sinegisitas Membangun Bangsa

Jumat, 28 Februari 2025 | 06:15 WIB

Sukatani dan Kritik Sosial Generasi Sebelumnya

Rabu, 26 Februari 2025 | 10:10 WIB

Pemuda, Budaya Membaca, dan Masa Depan Bangsa

Rabu, 26 Februari 2025 | 06:15 WIB

Harapan Setelah Retret

Selasa, 25 Februari 2025 | 08:29 WIB

Mandatory Program Angkutan Umum untuk Revisi UU LLAJ

Selasa, 25 Februari 2025 | 06:15 WIB

Belajar dari Republik Irlandia

Senin, 24 Februari 2025 | 06:15 WIB

Brain Drain: Ancaman Terhadap Indonesia Emas 2045

Minggu, 23 Februari 2025 | 06:15 WIB

Virus dan Potensi Kekerasan Epistemik

Sabtu, 22 Februari 2025 | 06:15 WIB

Masa Depan Cerah Perbankan Syariah

Jumat, 21 Februari 2025 | 06:15 WIB
X
</body> </html>