Date: 28/03/2025
Caption: Pekalongan Kota Sampah? Auto Kritik Atas Kegagalan Pemerintah Atasi Skandal Koperasi dan Krisis Sampah
Article:
PEKALONGAN KOTA-Lebaran tahun 2025 seharusnya menjadi momen kemenangan dan kebahagiaan bagi masyarakat Kota Pekalongan. Namun, sejak setahun yang lalu hingga jelang lebaran tahun ini, Kota ini justru dihadapkan pada kenyataan pahit yang mengoyak rasa aman dan nyaman warganya.

Dua masalah besar menghantam secara bersamaan, double attack : skandal mafia koperasi bodong yang merugikan puluhan ribu warga.dan krisis sampah yang mencemari kota Pekalongan.

Dua masalah ini bukan sekadar insiden biasa, tetapi mencerminkan kelalaian sistematis pemerintah kota Pekalongan dalam melindungi warganya dan mengelola tata kota.

Baca Juga: Krisis Likuiditas BMT dan Koperasi: Pelajaran dari Kasus Berulang, Resiko Nabung Tanpa LPS

Kota Pekalongan yang semenjak dulu dikenal "Kota Batik", kini mulai mendapat label baru yang lebih menyakitkan: "Kota Sampah". Julukan ini bukan hanya merujuk pada tumpukan sampah fisik yang menggunung di sudut-sudut kota, tetapi juga "sampah" dalam sistem birokrasi yang gagal melindungi rakyat dari ketidakadilan akibat koperasi-koperasi bodong yang tidak diawasi oleh penerintah.




Julukan itu sebagai auto-kritik, sebuah cerminan dari kegagalan dan kelalaian pemerintah yang akhirnya menciptakan lingkungan yang kumuh, tidak sehat, dan tidak aman, baik secara fisik maupun sosial.

Pada Maret 2025, Kementerian Lingkungan Hidup resmi menutup TPA Degayu, satu-satunya tempat pembuangan akhir di Kota Pekalongan. Penutupan ini merupakan bagian dari kebijakan nasional untuk menghentikan sistem pembuangan terbuka (open dumping) yang dianggap tidak ramah lingkungan.

Baca Juga: Sampah Kerap Menggunung di Sekitar Pasar Kambing Jepara, DLH Ungkap Biang Keroknya

Namun, keputusan tersebut menjadi bencana baru bagi kota Pekalongan, karena pemerintah kota Pekalongan tidak memiliki solusi alternatif yang siap diterapkan (gagap situasi dan solusi).

Dampaknya langsung terasa: sampah menumpuk di berbagai sudut kota, menciptakan pemandangan yang kumuh, bau dan memicu kekhawatiran warga akan ancaman kesehatan pernafasan. Jalanan yang biasanya ramai dengan aktivitas warga kini dipenuhi bau busuk sampah yang tak terangkut.

Beberapa warga terpaksa membakar sampah mereka sendiri, yang justru meningkatkan polusi udara dan risiko penyakit pernapasan.

Baca Juga: Pesta Rakyat Pelantikan Presiden Prabowo Berakhir, Puluhan Ton Sampah Berserakan

Walikota Pekalongan, Afzan Arslan Djunaid, akhirnya menetapkan status darurat sampah selama enam bulan, dari 21 Maret hingga 21 September 2025 melalui Surat Keputusan (SK) Nomor 600.4.15/0556 Tahun 2025.

Sayannya keputusan itu boleh dikata terlambat dan terkesan cari aman, karena dampaknya sudah dirasakan oleh masyarakat. Jika pemerintah lebih sigap, seharusnya mereka sudah menyiapkan strategi mitigasi jauh jauh hari sebelum TPA ditutup.


Keywords: dbksuaramerdeka pekalongan raya kota sampah
Article Link: https://pekalongan.suaramerdeka.com/pekalongan-raya/18114860050/pekalongan-kota-sampah-auto-kritik-atas-kegagalan-pemerintah-atasi-skandal-koperasi-dan-krisis-sampah

-------------ORIGINAL HTML:------------------
Pekalongan Kota Sampah? Auto Kritik Atas Kegagalan Pemerintah Atasi Skandal Koperasi dan Krisis Sampah - Suara Merdeka Pekalongan

Pekalongan Kota Sampah? Auto Kritik Atas Kegagalan Pemerintah Atasi Skandal Koperasi dan Krisis Sampah

- Jumat, 28 Maret 2025 | 17:48 WIB
UNTUNG NURSETIAWAN
UNTUNG NURSETIAWAN

PEKALONGAN KOTA-Lebaran tahun 2025 seharusnya menjadi momen kemenangan dan kebahagiaan bagi masyarakat Kota Pekalongan. Namun, sejak setahun yang lalu hingga jelang lebaran tahun ini, Kota ini justru dihadapkan pada kenyataan pahit yang mengoyak rasa aman dan nyaman warganya.

Dua masalah besar menghantam secara bersamaan, double attack : skandal mafia koperasi bodong yang merugikan puluhan ribu warga.dan krisis sampah yang mencemari kota Pekalongan.

Dua masalah ini bukan sekadar insiden biasa, tetapi mencerminkan kelalaian sistematis pemerintah kota Pekalongan dalam melindungi warganya dan mengelola tata kota.

Baca Juga: Krisis Likuiditas BMT dan Koperasi: Pelajaran dari Kasus Berulang, Resiko Nabung Tanpa LPS

Kota Pekalongan yang semenjak dulu dikenal "Kota Batik", kini mulai mendapat label baru yang lebih menyakitkan: "Kota Sampah". Julukan ini bukan hanya merujuk pada tumpukan sampah fisik yang menggunung di sudut-sudut kota, tetapi juga "sampah" dalam sistem birokrasi yang gagal melindungi rakyat dari ketidakadilan akibat koperasi-koperasi bodong yang tidak diawasi oleh penerintah.

Julukan itu sebagai auto-kritik, sebuah cerminan dari kegagalan dan kelalaian pemerintah yang akhirnya menciptakan lingkungan yang kumuh, tidak sehat, dan tidak aman, baik secara fisik maupun sosial.

Pada Maret 2025, Kementerian Lingkungan Hidup resmi menutup TPA Degayu, satu-satunya tempat pembuangan akhir di Kota Pekalongan. Penutupan ini merupakan bagian dari kebijakan nasional untuk menghentikan sistem pembuangan terbuka (open dumping) yang dianggap tidak ramah lingkungan.

Baca Juga: Sampah Kerap Menggunung di Sekitar Pasar Kambing Jepara, DLH Ungkap Biang Keroknya

Namun, keputusan tersebut menjadi bencana baru bagi kota Pekalongan, karena pemerintah kota Pekalongan tidak memiliki solusi alternatif yang siap diterapkan (gagap situasi dan solusi).

Dampaknya langsung terasa: sampah menumpuk di berbagai sudut kota, menciptakan pemandangan yang kumuh, bau dan memicu kekhawatiran warga akan ancaman kesehatan pernafasan. Jalanan yang biasanya ramai dengan aktivitas warga kini dipenuhi bau busuk sampah yang tak terangkut.

Beberapa warga terpaksa membakar sampah mereka sendiri, yang justru meningkatkan polusi udara dan risiko penyakit pernapasan.

Baca Juga: Pesta Rakyat Pelantikan Presiden Prabowo Berakhir, Puluhan Ton Sampah Berserakan

Walikota Pekalongan, Afzan Arslan Djunaid, akhirnya menetapkan status darurat sampah selama enam bulan, dari 21 Maret hingga 21 September 2025 melalui Surat Keputusan (SK) Nomor 600.4.15/0556 Tahun 2025.

Sayannya keputusan itu boleh dikata terlambat dan terkesan cari aman, karena dampaknya sudah dirasakan oleh masyarakat. Jika pemerintah lebih sigap, seharusnya mereka sudah menyiapkan strategi mitigasi jauh jauh hari sebelum TPA ditutup.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Haryoto Bramantyo

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X
</body> </html>